Saya Fisioterapis



Pages

cari-cari

BELL's PALSY ( Wajah Menceng)

Jumat, 08 Agustus 2014




A.    Latar Belakang Masalah
            Bell´s palsy merupakan lesi pada nervus VII (nervus Fasialis) perifer , yang mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah , bersifat akut, dimana penyebabnya tidak diketahui dengan pasti atau idiopatik (Thamrinsyam, 1991).Bell´s palsy merupakan jenis kelumpuhan saraf fasialis perifer yang paling sering terjadi, tujuh puluh lima persen dari seluruh lesi saraf fasialis termasuk didalam kelompok ini (Chusid, 1993).
Bell´s palsy biasa terjadi pada segala usia, namun lebih sering dijumpai pada kelompok umur 20 sampai dengan 50 tahun. Di Amerika serikat angka kejadian Bell´s palsy kira-kira 23 per 100.000 tiap tahun, tapi hasil penelitian pada umumnya menunjukkan angka kejadian 15-30 per 100.000 tiap tahun. Angka kejadian terendah ditemukan pada usia kurang dari 10 tahun dan angka kejadian tertinggi pada usia kurang dari 60 tahun (Talavera,2006).Di Belanda (1987) 1 penderita per 5000 orang dewasa dan 1 penderita per 20.000 anak per tahun. Bell´s palsy  pada orang dewasa lebih banyak dijumpai pada pria, sedangkan pada anak tidak terdapat perbedaan yang menyolok antara kedua jenis kelamin (Sukardi,2008).
Bell´s palsy lebih sering terjadi dibandingkan dengan kelumpuhan saraf kranialis yang lain. Kelumpuhan ini ditandai dengan mulut tertarik pada salah satu sisi. Penderita tidak dapat mengangkat alis atau mengkeritkan dahi. Pada saat menutup mata , mengangkat sudut mulut , menggembungkan pipi, bersiul dan mencucu akan terjadi deviasi kearah yang sehat.Sehingga menimbulkan kelainan bentuk wajah yang menyebabkan penderita sangat terganggu baik fungsional, kosmetik maupun psikologis (Widowati,1993). Keadaan ini tidak memiliki penyebab yang jelas,tapi dapat disebabkan oleh karena kedinginan pada muka, infeksi telinga tengah, tumor pada intracranial, fraktur pada os temporal, meningitis, dan penyakit-penyakit infeksi.
Bell´s palsy menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu impairment  seperti kelemahan otot wajah, gangguan rasa pada lidah, asimetris wajah, spasme otot wajah, gangguan rasa pada lidah, asimetris wajah, spasme otot wajah, functional limitation seperti gangguan makan , gangguan minum, gangguan menutup mata, gangguan ekspresi , dan participation of restriction seperti menarik diri dari masyarakat karena gangguan ekspresi ( Sidharta, 19    A.        Anatomi Fungsional
1.    Nervus Fascialis
Nervus fascialis merupakan saraf wajah dari arcus pharyngeus kedua dan mensarafi semua otot-otot wajah. Nervus fascialis tidak mensarafi kulit tetapi cabang-cabangnya berhubungan dengan cabang-cabang nervus trygeminus (Snell,1993).
Nervus fascialis keluar dari os petrosum kemudian keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stylomastoideus.Nervus tersebut turun dan bergabung dengan ganglion geniculatum yang merupakan serabut penghantar impuls pengecap yang dinamakan corda tympani  (Sidharta,1999).
Nervus fascialis mengontrol otot-otot pada leher, kening dan ekspresi wajah. Nervus fascialis merangsang kelenjar air mata dan kelenjar ludah didepan mulut.Sensasi rasa pada 2/3 bagian depan lidah dan sensasi pada daerah gendang telinga juga dibawa nervus fascialis (Diels, 2006).
Otot-otot bagian atas wajah disarafi dari 2 sisi. Maka terdapat perbedaan gejala kelumpuhan saraf VII tipe sentral dengan tipe perifer. Pada gangguan nervus fascialis tipe perifer semua otot sesisi wajah lumpuh. Pada gangguan tipe I ni letak lesi berada di inti atau serabut saraf sedangkan tipe sentral letak lesi pada tractus pyramidalis atau korteks motorik. Pada  gangguan tipe sentral sekitar mata  dan dahi yang mendapat persarafan dari 2 sisi tidak lumpuh tetapi yang lumpuh bagian bawah wajah. Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah disarafi dari korteks motorik kontralateral, sedangkan  wajah bagian atas disarafi dari kedua sisi  korteks motorik  atau bilateral  (Lumbantobing, 2006).
2.    Otot Wajah
Otot wajah melekat pada fascia superficialis dan hampir semua berorigo pada tulang cranium serta  berinsertio ke kulit. Lubang-lubang pada wajah, yaitu orbita (rongga mata), cavum nasi (rongga mulut) dilindungi  oleh palpebra nares dan labia oris. Otot wajah berfungsi sebagai sfingter atau  dilator struktur-struktur tersebut.Fungsi lain otot wajah adalah untuk mengubah ekspresi wajah. Otot wajah berkembang dari arcus pharyngeus kedua dan disarafi nervus fascialis (Snell, 1993).
Otot wajah seperti otot lain, memiliki sifat-sifat fisiologis sebagai berikut : (1) irritability, kemampuan menerima rangsang, (2) conductivity, kemampuan meneruskan rangsang ke seluruh sel-sel otot, (3) contractility, kemampuan untuk berkontraksi, (4) elastuicity,, kemampuan kembali setelah mengalami penguluran, dan (5) extensibility, kemampuan untuk mengulur tanpa mengalami kerusakan.
Otot-otot wajah bekerja secara fungsional dalam mengekspresikan wajah, seperti ketika wajah diam merupakan posisi rileksasi dri kedua sisi otot-otot wajah, mengangkat alis dilakukan oleh otot frontalis, menutup mata dilakukan oleh otot orbicularis oculli, tersenyum dilakukan oleh otot zygomaticum mayor, dan bersiul dilakukan oleh otot orbicularis oris (Snell,1983)
Keterangan gambar 2.1
Otot-otot wajah (Putz,2000)
1.      M. Procerus                                                 8. M. Platysma
2.      M. Corrugator Supercilli                              9. M. Risorius
3.      M. Nasalis                                                  10. M. Orbicularis Oris
4.      M. Zigomaticus Mayor                                11. M. Zigomaticus Minor
5.      M. Buccinator                                              12. M. Orbicularis Oculi
6.      M. Mentalis                                               13. M. Frontalis
7.      M. Depressor Anguli Oris
Keterangan gambar 2.2
Sistem Persyarafan Wajah (Putz, 2000)
1.      N. Fasialis                            6.  N. Petrosus  Mayor
2.      Chorda Tympani                 7. Processus Syloideus
3.      N. Auricularis                     8. N. Petrosus Profundus
4.      Ganglion Geniculi              9. N. Canalis Pterygoidei ( Radix Fasialis)
5.      N. Petrosus Minor              10. Ganglion Oticum

B.   Etiologi Bell´s Palsy
Bell´s palsy secara pasti belum dapat diketahui penyebabnya, akan tetapi ada beberapa tori yang berhubungan dengan etiologi Bell´s palsy antara lain :
1.      Teori Ischemia Vaskuler
Menurut teori ini terjadinya gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis falopi secara tidak langsung menjadikan paralisis atau parese nervus fasialis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tekanan syaraf perifer terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri syaraf tersebut, bukan akibat dari tekanan langsung pada syarafnya.
Kemungkinan terdapat respon simpatis yang berlebihan sehingga terjadi spasme  arterioral atau statis vena pada bagian bawah dari kanalis fasialis, sehingga menimbulkan oedema sekunder yang selanjutnya menambah kompresi terhadap supply darah, menambah ischemia dan memjadikan parese nervus fasialis (Rohman,1993).
2.   Teori Herediter
Willbrand (1974) dikutip oleh Sabirin  (1996) mendapatkan 6 % penderita Bell´s palsy yang kasusnya herediter. Ini mungkin karena kanalis fallopi yang sempit di sekitar foramen stylomastoideus yang herediter (pada keturunan atau keluarga tersebut), sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis (Sabirin, 1996)
3.   Teori Immunologi
Dikatakan bahwa Bell´s palsy terjadi akibat reaksi immonologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian immunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita Bell´s palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan oedema di dalam kanalis fallopi dan juga sebagai immune suppressor (Utami, 1992).
4     Pengaruh Udara Dingin
Adanya pengaruh udara dingin menyebabkan kerusakan lapisan endothelium dari pembuluh  darah leher atau telinga, sehingga mengakibatkan proses trandusi daerah tersebut. Bila trandusi meluas sampai facial canal akan menyebabkan penekanan nervus fasialis, karena penekanan tersebut tidak dapat menghantarkan rangsangan sehingga menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelayuan.
C.      Patologi
Apapun sebagai etiologi Bell´s palsy , proses akhir yang dianggap bertanggung  jawab atas gejala klinik Bell´s palsy adalah  proses oedema  yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fascialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi odema dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler  kemudian terjadi oedema pada jaringan sekitarnya  dan akan terjadi  gangguan aliran darah sehingga terjadi hopoksia dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan kallilrein sebagai hancurnya nucleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen.

A.      Tanda dan Gejala Klinis
Menurut Chusid (1983) tanda dan gejala klinis Bell´s palsy  ditentukan dari lokasi atau letak terjadinya  lesi, antara lain :
1.      Lesi di luar foramen stylomastoedeus
Pada lesi diluar foramen stylomastoedeus gejala terjadi pada sisi yang terkena  yaitu mulut turun dan mencong ke sisi  yang lain,  makanan terkumpul di antara pipi dan gusi, dan sensasi wajah menghilang. pasien tidak dapat bersiul, mengedip dan mengerutkan dahi. Tipe paralisinya lower motor neuron yang flaccid dan reaksi degenerasinya timbul dalam waktu 10-14 hari, tergantung luasnya kerusakan.
2.      Lesi pada canalis fascialis dan mengenai nervus chorda tympani
Hampir sama dengan gejala pada lesi di luar foramen stylomastoideus tetapi terjadi hilangnya sensasi pada 2/3 bagian depan lidah dan bedrkurangnya salvias di sisi yang terkena.
3.      Lesi lebih tinggi yang mengenai ganglion genitaculum
Pada letak lesi ini terdapat rasa nyeri di belakang dan di dalam telinga. Herpes pada tympanum dan concha dapat mendahului terjadinya kelumpuhan.
B.  Komplikasi
Komplikssi  yang umumnya  dijumpai pada kondisi  Bell´s palsy antara lain :
1.    Crocodil tears syndrome  (syndrome air mata buaya)
Sindrome air mata buaya merupakan keluarnya air mata pada saat pasien makan. Fenomena ini dapat terjadi sebagai akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom. Pada kondisi normal serabut otonom seharusnya menuju ke kelenjar saliva, namun karena regenerasi  yang salah serabut otonom menuju ke kelenjar lakjrimalis (Sabirin, 1996).
2.    Synkinesis
Gerakan sinkinetik aialah ikut terangkatnya  sudut mulut pada  waktu mata ditutup dan fisura palpebrale sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu  rahang bawah ditarik ke atas atau ke bawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Paralisis facialis perifer  jika sembuh, kadang sering menimbulkan gejala sisa. Pada umumnya gejala itu merupakan proses regenerasi yang salah, sehingga  timbul gerakan fasial yang berasosiasi dengan gerakan otot kelopak lain. Gerakan yang mengikuti gerakan otot kelopak lain itu dinamakan synkinesis (Sidharta,1999).
3.    Spasmus Klonik Facialis
Spasmus klonik facialis atau tic facialis adalah gangguan gerakan pada otot wajah yang sering dijumpai (gerakan involunter). Mekanisme sebenarnya  belum diketahui tetapi yang sering dianggap  sebagai penyebabnya ialah suatu rangsang iritatif di ganglion geniculatum. Tetapi gerakan wajah involunter  bisa bangkit juga sebagai pencerminan kegelisahan atau depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut mulut terangkat dan kelopak mata memejam secara berlebihan  (Sidharta,1999).
4.    Kontraktur otot wajah
Kontraktur otot wajah dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plica nasolabialis lebih jelas terlihat dibanding  pada sisi yang sehat. Hal ini yangmenyebabkan kesalahan persepsi, bagian yang sehat disangka lumpuh, sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya  \sehat (Lumbantobing, 2006).
5.    Neuralgia geniculata
Neuralgia geniculata  merupakan rasa nyeri di belakang dan di dalam telinga, serta sensasi pengecap menghilang. Neuralgia ini biasanya menyertai Bell´s palsy hanya untuk sementara, tetapi dapat terlihat dengan herpes pada tympanum dan concha dengan atau tanpa facial palsy (Chusid, 1983).
F. Prognosis Gerak dan Fungsi
Pasien Bell´s palsy pada umumnya mempunyai prognosis yang bagus, kira-kira 80 – 90 % pasien akan sembuh tanpa timbul gejala sisa dalam 6 minggu sampai 3 bulan. Pada pasien yang  berumur 60 tahun atau lebih kira – kira 40% akan mengalami penyembuhan secara lengkap dan mempunyai angka sequel atau gejala sisa yang lebih tinggi. Pasien yang berusia 30 tahun atau kurang mengalami kesembuhan 10 – 15 % dan kemungkinan untuk timbul gejala sisa lebih kecil (Talavera, 2005).
Faktor resiko yang dapat mempengaruhi prognosis Bell´s palsy antara lain adalah : (a) usia dari pasien, pada usia lanjut kemungkinan terjadi kontraktur dari otot- otot wajah yang mengalami kelumpuhan akan lebih besar dibanding  dengan penderita usia muda. Pada usia lanjut proses penyembuhan juga lebih lama disbanding pada penderita  usia muda, (b) derajat kelumpuhan, pada kelumpuhan yang komplit akan lebih lama proses penyembuhannya, (c) saat pemberian terapi  (Talavera, 2005).
      G.     Diagnosis Banding
Untuk menegakkan diagnosis Bell´s palsy kita harus mengetahui beberapa kondisi yang dapat menjadi diagnosis banding intuk kasus Bell´s palsy antara lain :
1.      Herpes Zoster Otikus (Ramsay Hunt Syndrome)
Ganglion genikuli dapat terkena infeksi herpes zoster. Nervus fasialis dan juga nervus octavus dapat terlibat dalam infeksi tersebut. Gambaran penyakit ini yaitu adanya  gelembung herpes di daun telinga. Beberapa hari setelah vesikel-vesikel tersebut timbul, tanda-tanda  paresis fasialis perifer  dan  tinnitus  serta  tuli  perseptif dapat di jumpai pada sisi ipsilateral juga (Sidharta, 1999).


2.      Facial Palsy tipe sentral
Pada kondisi ini terlihat jelas bahwa otot wajah bagian bawah tampak lebih lumpuh daripada bagian atasnya . Sudut mulut sisi yang lumpuh terlihat lebih rendah, lipatan nasolabial sisi yang lumpuh mendatar, otot wajah bagian dahi tidak menunjukkkan kelemahan yang berarti selain itu tidak dijumpainya tanda  Bell  (Sidharta, 1999)
3.      Sindroma Guillain Barre  dan Miastenia Gravis
Pada Sindroma Guillain Barre  dan Miastenia  Gravis, paresis fasialis  hampir semuanya bilateral. Pada kedua kasus ini kelumpuhan otot wajah tidak berdiri sendiri. Otot-otot  bulbar  dan juga otot-otot  ocular  sering timbul bersama-sama dengan paresis fasialis  (Sidharta, 1999).
4.      Ototis media  dan  Mastoiditis
(Diels, 2006).
Bakteri dari beberapa infeksi telinga yang akut maupun kronis dapat menimbulkan radang dan nyeri tekan di os mastoideus. Proses radangf berpindah daricavum timpani  ke  mastoid  yang mempunyai banyak pneumatisasi, sehingga pengrusakan tulang mudah dan cepat terjadi. Melalui dinding canalis fasialis  yang ikut terusak oleh proses mastoiditis, nervus fasialis mengalami gangguan dan timbul paresis fasialis (Diels, 2006)




A.    Kesimpulan
Bell´s palsy adalah ganggua nervus facialis perifer akut, dimana terjadi penekanan pada nervus  fasialis akibat proses oedema pada daerah foramen stylomastoideus yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti atau idiopatik yang dapat menimbulkan kelemahan otot-otot wajah pada sisi yang terkena (Binhasyim, 2008/).
Pada kondisi  bell´s palsy ini, muncul problematik yang harus dihadapi yaitu : gangguan ekspresi normal pada wajah, adanya kelumpuhan pada salah satu sisi wajah sebelah kiri (sinistra), adanya kelemahan otot pada salah satu sisi wajah sebelah kiri (sinistra), bila minum atau berkumur air menetes dari sudut mulut yang terkena, kerut dahi menghilang.

A.    Saran
1.    Untuk terapis
Adanya kondisi-kondisi lain sebagai pencetus bell´s palsy memamg membutuhkan penanganan yang lebih serius. Tidak semua kondisi tersebut dapat di pengaruhi dengab intervensi fidioterapi tetapi dengan adanya kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya guna menyelesaikan masalah dengan lebih tepat.
Proses identifikasi dan interpretasi masalah dilakukan dengan baik sehingga bisa diberikan intervensi yang sesuai dengan permasalahan yanga ada. Untuk itu, proses fisioterapi harus dilakukan dengan baik sehingga tujuan akhuir dari fisioterapi yang dilakukan dapat tercapai dengan teknologi efektif dan edukasi yang diberikan pada pasien. Fisioterapis sendiri hendaknya lebih mengembangkan pengetahuan dan selalu merasa tidak puas dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
2.    Untuk pembaca
a.        Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin mengenai wajah.
b.        Jika tidur menggunakan kipas angin , jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung. Arahkan kipas angin itu kearah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-langit, jangam tidur tepat dibawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian ki[as.
c.   Apabila sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan saraf.
d.  Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah/ masker dan pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan  menderita bell´s palsy.
e.   Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atasu mencuci wajah dengan air dingin.
f.    Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajat terkena angin langsung. Turupi wajah dengan kain atau penutup.
 
DAFTAR PUSTAKA
Aaron, M F,1994 : Infra red Thermal System : Retrieved Januari 5, 2011, fr:om http :
          www.Infra Red.com

Brain ,  Russel,  1989:  Disease  of  the  Nervous   System,  Oxford,   hal 176-181
Chusid,  JG,  1993:  Neuronatomi  Korelatif  dan  Neurologi  Fungsional:   cetakan
          keempat, Gajah Mada University, Yogyakarta, Hal 175-179

Clayton ,1981 : Electroterapy Theory abd Practice: eight edition , London
Diels Jacqueline, 2010: Bell´s Palsy: Retrived, Januari,27, 2010, from  http:  www.
          Bell´s palsy.ws
Lee, Jenifer,1990 : Segi Praktis Fisioterapi : edisi kedua, Binarupa Aksara, Jakarta
           hal 95-97

Lumbantobing SM, 2006 : Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental : Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Michlovitz, Susan L, 1986 : Thermal Agent In Rehabilitation : scond edition, FA Davis Co, Philadelphia, hal 99-102

Putz, R Pabst. R, 1989: Sobotta Atlas Anatomi Manusia : EGC. Jakarta
Sidharta P, 1999 : Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi : edisi keempat, Dian Rakyat, Jakarta

Sabirin J. 1990 : Bell´s Palsy Dalam Hadinoto dkk, Gangguan Gerak, Cetakan I Semarang, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Sidharta P, 1999 : Tata pemeriksaan Klinis dalam Praktek Umum : edisi ketujuh, Dian Rakyat, Jakarta

Song B-Young, 2010 : Clinic diagnostic study on prognosis of Bell´s palsy with the Digital Infra –red Thermal Image, Retrieved  Desember 28, from http ww

Thamrnsyam, 1991:  Bell´s   Palsy: Unit  Rehabilitasi  Medik   RS    Dr.  Soetomo,
           FK UNAIR Surabaya

 
Raden Mas Fauzie

Buat Lencana Anda