Saya Fisioterapis



Pages

cari-cari

Aspek Fisioterapi Syndroma Nyeri Bahu

Senin, 28 September 2015


Sindroma nyeri bahu hampir selalu didahului atau ditandai adanya rasa nyeri pada bahu terutama pada saat melakukan aktifitas gerakan yang melibatkan sendi bahu sehingga yang bersangkutan ketakutan menggerakkan sendi bahu. Keadaan seperti ini apabila dibiarkan dalam waktu yang relatif lama menjadikan bahu akan menjadi kaku.

Beberapa faktor penyebab dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kelompok Muskuloskeletal
2. Kelompok Neurogenik
3. Kelompok Vaskuler
4. Kelompok Nyeri Rujukan
5. Kelompok Persendian (Colliet 1981)

Secara praktis fisioterapi untuk mempermudah diagnosis kerja membagi faktor penyebab nyeri menjadi:
1. Faktor gerak dan fungsional (movement & function) dan
2. Faktor penyebab Neurogenik yang berkaitan dengan nyeri rujukan dari organ dalam interkostal dan abdominal yang se-segmen dengan persyarafan sympatis asli dan atau nyeri rujukan dari persyarafan sympatis perifer yang sesegmen dengan persyarafan somatis sendi bahu.

I. FAKTOR PENYEBAB DAN GERAK FUNGSI
Gerak atau aktifitas kerja fungsional sehari-hari yang membebani struktur persendian bahu, misalnya pada karyawan tukang cat, pemain tennis, juru ketik dan sebagainya yang terkait dengan aktivitas gerak bahu.

Pada kelompok orang-orang tersebut, nyeri bahu terjadi oleh karena aktivitas yang dilakukan pada posisi abduksi-elevasi sedikit eksorotasi. Pada aktivitas gerak ini maka peran dan kerja otot “rotator cuff” terutama m. supraspinatus sering terjadi impangement (terjepit) antara kaput humeri dan akromion atau ligamentum coraco akromiale.

Keadaan ini sangat potensial menimbulkan cedera pada otot pada supraspinatus dan yang bersangkutan sering mengeluh pegal dan nyeri. Mekanisme yang sama dapat terjadi otot kelompok “rotator cuff” yang lain berdasarkan pada gerak yang terjadi dan melekat karena kerja otot apa yang dominan.

Gambar m. supraspinatus

Penyebab nyeri gerak dan fungsi, sangat erat kaitannya dengan mekanisme gerak yang terjadi pada sendi bahu baik secara osteokinematik maupun secara orthokinematik. Mengingat bahwa secara anatomis pergerakan sendi bahu melibatkan banyak persendian (8 sendi) yaitu : glenohumeral, suprahumeral, acromioclavicular, scapulo cathalis, sterno clavicular, kostosternal, costa vertebralis dan vertebralis cervical 4 s/d thoracal 8, maka proses-proses patologik yang termasuk dalam nyeri bahu juga banyak macamnya.

Gambar Sendi Gerak

Nyeri bahu dengan penyebab gerak dan fungsi yang paling sering terjadi adalah disebabkan oleh karena tendinitis supraspinatus, ruptur rotator cuff, bursitis dan kapsulitis adhesiva. Semua keadaan sering disebut dengan frozen shoulder atau perioartritis humero & kapulari.

Satu hal yang perlu dan penting diperhatikan adalah karakterisitik keterbatasan yang spesifik menunjukkan bahwa toper lesi sudah diikuti kontraktur dari kapsel sendi. Dengan pemahaman ini maka intervensi rasional fisioterapis yang paling penting adalah mobilisasi sendi dengan pendekatan manipulatif disamping intervensi yang lain.

Pada gejala yang non spesifik pada nyeri bahu pada umumnya sifat keterbatasan dan nyeri tidak mengikuti pola yang spesifik, sering disebut “non capsulair pattern” keterbatasan bukan pada kapsuler (non kapsuler).

Keluhan nyeri pada sendi bahu yang bersifat non kapsuler dapat terjadi oleh karena kelainan yang bersifat “impagement” dan kelainan neurologis yang bersifat syndroma. Secara klinis gambaran patologis nyeri sendi bahu dapat dapat dicermati dari beberapa kondisi sebagai berikut :

1. Gangguan Myotakal Pada “Rotator Cuff”Yang Meliputi:
A. TENDINITIS
Nyeri bahu pada pekerja yang dalam aktifitasnya harus mengangkat beban berat, bukan disebabkan oleh proses degenerasi, melainkan terjadi bila lengan harus diangkat sebatas atau melebihi tinggi akronion. Posisi yang sedemikian ini bila berlangsung terus-menerus juga akan menyebabkan terjadinya iskemia pada tendon.

Gambar 2 : Sirkulasi darah daerah bahu
A. Sirkulasi ke “rotator cuff” B. Daerah Iskemia akibat tarikan

Iskemia ini selanjutnya dapat mengakibatkan terjadinya atropi kelemahan otot daerah pundak sehingga daerah tersebut kelihatan kempis.

Degenerasi yang progresif pada “rotator cuff” biasa terjadi pada mereka yang kurang/tidak mewaspadai adanya rasa nyeri dan gangguan fungsi pada bahu. Pada decade ke-5, kebanyakan otot “rotator cuff”telah mulai tertarik serta memperlihatkan tanda-tanda penipisan dan fibrotisasi. Penipisan dan degenerasi ini terutama terjadi pada daerah kritis (critical zone).

Pada keadaan lebih lanjut, kemungkinan terjadinya ruptur ringan akan bertambah lebar, pada keadaan ini proses degenerasi akan diikuti erosi pada tuberkulum humeri. Erosi yang terjadi menekan tendon biceps sehingga sulcus bisipitalis pada kondisi parah seolah-olah menghilang. Bursa sub akromialis menjadi ikut terjepit di daerah tersebut sehingga dinding bursa menebal.

Gambar 4. : Proses terjadinya degenerasi

Bila terjadi ruptur tendon atau klasifikasi, dinding bursa ini menjadi tegang. Permukaan bawah akronion oleh adanya gesekan dan tekanan dari humerus, akan mengeras dan menebal.

Pertambahan usia harus dipertimbangkan sebagai factor yang berperan penting dalam proses tendinitas degenerative, meskipun factor-faktor yang lain juga memegang peranan. Pertambahan usia juga mempengaruhi luas gerak sendi, yang disebabkan oleh perubahan posisi scapula. Perubahan posisi scapula ini sebagai akibat dari bertambahnya lengkung kiposis torakal karena degenerasi diskus intervertebralis.

Kalsifikasi Pada Tendinitis
Penimbunan kristal kalsium fosfat dan kalsium karbonat pada “rotator cuff” sangat sering terjadi. Garam ini tertimbun dalam tendon, ligamen, aponeurosis dan kapsul sendi serta dinding pembuluh darah. Penimbunan ini berhubungan dengan perubahan degenerasi. Umumnya terjadi pada daerah kritis dimana degenerasi ini dapat menyebabkan ruptur atau nekrosis pada tempat penimbunan kalsium. Secara sederhana proses terjadinya kalsifikasi pada tendonitis dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5 : Proses terjadinya calcific tendonitis
A. Tendon M. Supra spinatus (cuff) antara lig. Coraco acromial dan caput humeri.
B. Tekanan yang berulang karena kegiatan sehari-hari serta posisi kerja yang slah.
C. Perubahan degeneratif pada critical zone

Penimbunan pertama kali didapatkan di dalam tendon, kemudian menuju permukaan, selanjutnya ruptur ke atas menuju ruan di bawah bursa subdeltoid. Evakuasi kalsium dari timbunan yang ruptur juga sementara saja dan rasa nyeri ini kemudian dapat timbul kembali. Evakuasi kalsium ke ruang bawah bursa akan menekan ke atas ke arah dasar bursa. Dengan iritasi dan tekanan, timbunan ini dapat ruptur ke dalam bursa itu sendiri. Ruptur ini terjadi akut dan menimbulkan nyeri hebat. Di dalam bursa timbunan ini dapat meluas ke lateral maupun distal (medial) sehingga berbentuk seperti dumbbell dengan pemisahnya adalah ligamentum korakoakromialis.

Dalam keadaan ini baik abduksi maupun adduksi bahu tidak lagi dapat dilakukan sepenuhnya (akan terganggu). Bahu biasanya terpaku dalam keadaan sedikit abduksi (30 s/d 40 derajat) yang akan menghambat gerakan bahu ke semua arah.

Radang bursa yang terjadi berulang kali oleh karena adanya tekanan yang terus-menerus dapat menyebabkan penebalan dinding bursa, pengentalan cairan bursa dan selanjutnya perlekatan dinding dasar dengan atas bursa, sehingga timbul perikapsulitis ahesive. Akhirnya timbul “frozen shoulder” (bahu beku)

Gambar 6 : Evolusi dari kalsifikasi pada tendonitis dan terjadinya “bursitis”
Posisi normal tendon supra spinatus dan bursa sub deltoid.
Letak timbunan kalsium pada tendon “rotator cuff”.
timbunan kalsium mulai keluar ke ruang di bawah bursa.
Evakuasi sebagai kalsium, namun sebagian besar masih berada dalam tendon.
Evakuasi berlanjut, ruptur ke dalam bursa.
Perluasan di dalam bursa terbentuk “dumbbell”.
Perlekatan dinding bursa oleh karena penebalan dinding dasar dan atap bursa serta pengentalan cairan bursa.
Tendinitis pada daerah bahu yang sering terjadi adalah tendinitis supraspinatus dan tendinitis bisipitalis.

Tendinitis Supraspinatus
Tendon otot supraspinatus sebelum berinsersio pada tuberkulum majus humeri, akan melewati terowongan pada daerah bahu yang dibentuk oleh kaput humeri (dengan bungkus kapsul sendi glenohunerale) sebagai alasnya, dan akromion serta ligamentum korako akromiale sebagai penutup bagian atasnya. Disini tendon tersebut akan saling bertumpang tindih dengan tendon dari kaput longus biseps. Adanya gesekan dan penekanan yang berulang-ulang serta dalam jangka waktu yang lama oleh tendon biseps ini akan mengakibatkan kerusakan tendon otot supraspinatus dan berlanjut sebagai tendinitis supraspinatus.

Tendinitis supra spinatus dapat disertai ataupun tanpa adanya kalsifikasi. Ada tidaknya kalsifikasi tidak mempunyai hubungan langsung dengan ada tidaknya rasa nyeri.
Penderita tendinitis biasanya datang dengan keluhan nyeri bahu yang disertai keterbatasan gerak sendi bahu. Bila ditelusuri, daerah rasa nyerinya adalah di seluruh daerah sendi bahu. Rasa nyeri ini dapat kumat-kumatan, yang timbul sewaktu mengangkat bahu. Pada malam hari nyeri ini dirasakan terus-menerus, dan bertambahnya nyeri bila lengan diangkat. Keluhan umum yang biasanya disampaikan adalah : kesulitan memakai baju, menyisir rambut, memasang konde atau kalau akan mengambil bumbu dapur di rak gantung bahunya terasa nyeri.

Pada pemeriksaan gerak dijumpai adanya
Painfull arc supraspinatus 0-60 derajat
Keterbatasan gerak sendi bahu, terutama abduksi dan eksorotasi.
Nyeri tekan pada daerah tendon otot supraspinatus.
Tes “Apley Scratch” dan “Mosley”: positif. (Kedua tes ini bukan merupakan tes khusus bagi tendinitis supraspinatus saja. Tes “Apley Scratch” sedang tes dan “Mosley” juga positif pada kerusakan otot “rotator cuff” yang lain).
Tendinitis Bisipitalis
Tendon otot bisep dapat mengalami kerusakan secara tersendiri, meskipun berada bersama-sama tendon otot supraspinatus. Tendenitis ini biasanya merupakan reaksi terhadap adanya trauma akibat jatuh atau dipukul pada bahu, dengan lengan dalam posisi adduksi serta lengan bawah supinasi. Atau dapat juga terjadi pada orang-orang yang bekerja keras dengan posisi seperti tersebut diatas dan secara berulang kali.

Tendinitis bisipitalis memberi rasa nyeri pada bagian depan lengan atas. Penderitanya biasanya datang dengan keluhan : “ kalau mau mengangkat benda berat bahunya sakit”, atau “kalau membawa jinjingan di pasar bahunya terasa nyeri”.
Pemeriksaan fisik pada penderita tendinitis bisipitalis didapatkan adanya :
Adduksi sendi bahu terbatas
Nyeri tekan pada tendon otot biseps (pada sulkus bisipitalis/sulkus intertuberkularis).
Tes “Yergason” disamping timbul nyeri juga didapati penonjolan disamping medial tuberkulum minus humeri, berarti tendon otot bisep tergelinsir dan berada di luar sulkus bisipitalis (terjadi penipisan tuberkulum).
B. BURSITIS
Merupakan peradapan dari Bursa. Kelainan ini jarang primer, tetapi biasanya sekunder terhadap kelainan degenerasi dari “rotator cuff”. Bursitis subdeltoideus.

Penderita bursitis subkromialis, keluhan pertamanya adalah “tidak dapat mengangkat lengan ke samping (abduksi aktif)”, tetapi sebelumnya sudah merasa pegal-pegal di bahu. Lokasi nyeri yang dirasakan adalah pada lengan atas atau tepatnya pada insersio otot deltoideus di tuberositas deltoidea humeri. Nyeri ini merupakan nyeri rujukan dari bursitis sub kromialis yang khas sekali. Ini dapat dibuktikan dengan penekanan pada tuberkulum humeri. Tidak adanya nyeri tekan di situ berarti nyeri rujukan.

Bursa subdeltoideus merupakan lapisan sebelah dalam dari otot deltoideus dan akronim, serta lapisan bagian luar dari otot “rotator cuff”. Bursa ini sedikit cairan. Gerakan abduksi dan fleksi lengan atas akan menyebabkan dua lapisan dinding bursa tersebut saling bergesekan. Suatu peradangan pada tendon juga
akan menyebabkan peradangan pada bursa.

Pemeriksaan fisik dijumpai:
Painfull arc sub acromialis 70 – 120 derajat.
Tes flexi siku melawan tahanan pada posisi flexi 90 derajat menjadikan rasa nyeri.
C. RUPTUR “ROTATOR CUFF”
Ruptur “rotator cuff” ternyata terjadi lebih sering daripada yang kita duga. Semula diagnosa ini hanya dipertimbangkan bagi mereka yang bekerja berat dan cenderung mudah mengalami trauma hebat. Ternyata pada autopsi sering terlihat adanya ruptur “rotator cuff” pada golongan umur empat puluh tahun, meskipun tanpa keluhan pada bahu semasa hidup.

Otot “rotator cuff” dapat robek akibat kecelakaan. Bagi penderita akan langsung merasakan nyeri pada daerah persendian bahu bagian atas. Hal ini umum terjadi pada anak-anak atau dewasa muda. Pada orang tua, ruptur dapat terjadi akibat trauma yang ringan saja, disebabkan oleh adanya degenerasi pada “rotator cuff”. Untuk keadaan ini, biasanya tanpa disertai keluhan nyeri. Keluhannya hanya berupa kesulitan mengabduksi lengan.

Pada pemeriksaan fisik, umumnya penderita dapat melakukan abduksi sampai 90 derajat, namun bila diminta meneruskan abduksi tersebut (elevasi), tidak akan dapat dan bahkan mungkin lengan atas jatuh. Pada pemeriksaan kekuatan otot (MMI), nilai kekuatan otot tidak akan lebih dari 3 (Fair). Gerak pasif biasanya tidak menimbulkan rasa nyeri, juga tidak ada gangguan. Tes “Moseley” atau tes “lengan jauh” akan menunjukkan hasil yang positif. Bila tes “Moseley” positif, perlu dilakukan pemeriksaan arterografi.

2. Kapsulitis Adhesiva
Untuk semua gangguan pada sendi bahu yang menimbulkan nyeri dan keterbatasan luas gerak sendi (R.O.M) istilah yang luas dipergunakan “Frozen Shoulder”. Karenanya ada berbagai macam keadaan yang termasuk dalam “Frozen Shoulder”. Kondisi ini sering dihubungkan dengan : Kapsulitis adhesiva, periartritis, perikapsulitis, bursitis obliteratif, komponen bahu dari “Shoulder hand syndrome” dan periartritis skapulohumeral.

Kapsulitis adhesive ditandai dengan adanya keterbatasan luas gerak sendi glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif maupun pasif. Ini adalah suatu gambaran klinis yang dapat menyertai tendinitis, infark myokard, diabetes melitus, fraktur immobilisasi berkepanjangan atau redikulitis servikalis. Keadaan ini biasanya unilateral, terjadi pada usia antara 45 – 60 tahun dan lebih sering pada wanita.
Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus. Bila terjadi pada malam hari sering sampai mengganggu tidur.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kesukaran penderita dalam mengangkat lengannya (abduksi), sehingga penderita akan melakukan dengan mengangkat bahunya (= srugging). Juga dapat dijumpai adanya atropi otot gelang bahu (dalam berbagai tingkatan). Sedangkan pemerikasaan neurologik biasanya dalam batas normal. Sifat keterbatasan meliputi pola kapsuler.

II. FAKTOR PENYEBAB PENYAKIT NEUROGENIK
Nyeri bahu yang diakibatkan oleh factor neurogenik dapat bersifat
Radikuler apabila terjadi tekanan pada akar saraf servikal yang menginervasi sendi bahu
Radikuler akibat entrapment pada m. supra scapular, dorso scapular, lesi plexus bracialis
Tumor myelum
Artero sclerotic occlusion
Posterior primary rami lower thoracic nerve entrapment

Dan Nyeri rujukan berasal dari segment somatic, sympatis perifer rami sympatis asli yang menginervasi organ intra thoracal dan intra abdominal.

Gambar 6. Nyeri akibat faktor neurogenik

Gangguan nyeri bahu akibat kelainan neurologis dan entrapment pada saraf tepi meliputi:
A. Tekanan Pada Akar Saraf Servikal
Cervikal Nerve Root pressure = "cervical radiculitis = cervical entrapment.
Penyebab Tekanan Akar Saraf Servikal antara lain:
Cervical spendylosis.
Cervical disk herniation.
Kelainan pada servical yang menyebabkan nyeri pada bahu ini biasanya disebabkan oleh karena kompresi akar saraf cervikal yang terjadi di antara ruang vertebraservikalis V - VI atau VI - VII dengan kompresi pada akar saraf C6 atau C7.

Pada gangguan ini biasanya dirasakan leher kaku dan nyeri, dan timbu1 "paresthesia" yang menjalar dan leher turun sisi laterial bahu, kelengan dan kadang sarnpai pada jari-jari.

Kelemahan pada segmen myotom dapat pula terjadi bila tekanan akar saraf ini disebabkan oleh karena herniasi diskus servikalis, fleksi leher akan rnemyebabkan rasa sakit bertambah dan begitu pula rasa paraesthesia. ("degenerative arthritis"), ekstensi leher akan menekankan sendi luschka yang hepertropi ke akar saraf yang terjepit itu.
Komposisi akar saraf C6 menyebabkan :
Nyeri dan kaku pada leher
Rasa nyeri dan tebal dirambatkan ke ibu jari dan sisi radial tangan.
Dijumpai kelemahan pada bicep
Berkurangnya reflek bicep
Dijumpai rasa nyeri alih (“referred pain”) di bahu yang samar, dimana “nyeri bahu" hanya dirasa betah didaerah deltoideus bagian lateral dan daerah infra scapula atas.
Kompresi akar saraf C7 menyebabkan:
Rasa bebal dan nyeri yang dialihkan ke jari tengah dan jari telunjuk dan punggung tangan dan pada tingkat lebih lanjut terjadi hiperaestesi di dermatom C7.
Terjadi kelemahan dan atropi pada m. trisep
Penurunan reflek tendon trisep.
Menurut Caillet penyakit diskus servikal dengan osteofit biasanya asimtomatik dan menimbulkan nyeri karena trauma atau fres pastural, atau ketegangan emosi. Dikatakannya bahwa sikap tubuh (posture) saja dapat merupakan trauma yang mengawali nyeri servikal atau Radikuler, misalnya ketegang otot kuduk karena keletihan akibat kontraksi isometrik berkepanjangan (misalnya berjam-jam kerja atau membaca pada meja yang tidak memenuhi syarat-syarat ergonomi mengakibatkan penarikan terhadap saraf spinal sehingga terjadi nyeri pada akar saraf atau saraf yang melintasi foramen intervertebral yang menyempit tadi. Sikap kepala kearah anterior atas dasar sikap punggung yang membungkuk, menyebabkan pertambahan lordosis servikal dengan penyempitan foramen intervetebrale dan saling mendekatnya procesus artikulasio yang berhadapan.

Depresi merupakan kondisi emosi yang paling utama yang menyebabkan sikap bungkuk. Diagram dan penyakit diskogenik servikal terutama berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan seperti photo polos vertebra servicalis, EMG dan MRI serta pemeriksaan yang lain perlu dipertimbangkan menurut kebutuhan selain pengobatan baik dengan analgetika maupun traksi leher, “Collar immobilization”, latihan otot leher dan sikap kukuh perlu pula dengan pendekatan fisik kiatrik terhadap depresinya yang kadang merupakan faktor dasar nyeri bahu ini.

B. Tumor Myelum
Tumor di myelum di daerah servikal dapat memberikan gejala serupa herniasi diskus servikal pada stadium awalnya tetapi biasanya dijumpai keluhan dan gejala yang progesip.

Laesi tunggal pada akar saraf kemudi disusul dengan laesi multipel dan bilateral, yang kenudian menimbulkan tanda-tanda laesi upper motor neuron dengan kelemahan yang kemudian disusul dengan kelumpuhan dan inkoordinasasi dari kaki dan disfungsi dan kandung kemih dan rektun.

Diagnosis ditegakkan dengan riwayat keluhan dan gejala yang progresif tadi, adanya kelainan yang multipel dan tanda-tanda UMN (Upper Motor Neuron) lesi. Pemeriksaan tambahan dimulai dengan fungsi lumbal (harus hati-hati), caudografi atau CT scan perlu untuk tindakan selanjutnya.

C. Laesi Pada Plexsus Brachialis
Pleksus brachialis dapat merupakan sumber rasa nyeri di daerah bahu, dan penyebabnya dapat oleh karena trauma dan mekanis: iritasi non traumata. Trauma pada pleksus brachialis dapat disebabkan oleh karena luka tembus, dislokasi akibat fraktur, atau akibat roda paksa tarikan.

Hal-hal tersebut diatas menyebabkan rasa nyeri pada bahu dan dapat dijumpai gangguan sensorik dan motorik dan banyak akar saraf dan C5 sampai Tl dan untuk menentukan tempat lesi secara tepat dapat dilakukan pemeriksaan dengan EMG dan MRI.

Kompresi pleksus brachialis yang mekanik non traurnata dapat disebabkan oleh karena keadaan klinik yang disebabka oleh karena sidroma rongga servikal dorsalis (“Cervica dorsal autlet syndroma”) yang rneliputi sindroma pektoralis minor, sindroma kosto klavikula dan sindroma iga servikal.

Gejala yang ditimbulkan disebabkan oleb karena gangguan pada pleksus brachialis atau arteri subclavia, atau keduanya, olek karena tulang, ligament atau otot-otot diantara vertebral servikal dan batas bawah. Daerah tersering yang terkena adalah di regio supra klavikula di daerah yang padat yang terisi dengan iga I, klavikula, dan vertebral servikal yang terbawah dengan jaringan didalamnya.

D. Sindroma Skapulokostal
Penyebab terserang dari nyeri bahu dengan rasa nyeri lokal dibahu dengan perambatan kebagian distal lengan dan tangan adalah sindroma skapulokostal. Dikatakan sindroma ini dijumpai 90 % dan semua rasa nyeri didaerah servikobrachial.

Sindroma ini disebut juga "postural fatique" dan akan mempengaruhi penderita selama masa istirahat. Gaya berat komponen skapula menyebabkan terjadinya sindroma ini. Sindroma ini juga menyebabkan kompresi neurovaskular di fossa supraklavikula yang gejalanya sama dengan gejala yang dijumpai pada igaservikal, sindroma skalenus anterior, sindroma klavikokostal dan sindrorna pektoralis minor.

Gejala ini terjadi pada penderita waktu istirahat pada posisi tegak (duduk atau berdiri). Prinsip utama dan sindroma ini adalah rotasi ke distal dari gerakan skapulokostal dan skapula yang memutar bagian redial dan superior skapula ke proksimal dan lateral. Akibat gerakan penarikan skapula kebawah menyebabkan tarikan pada otot-otot levator scapula, yang menyebabkan otot-otot ini terangsang dan rnengalami iskemia dan terjadilah spasme.

Dan timbullah gejala-gejala seperti dibawah ini:
1. Rasa nyeri hemikranial (nyeri kepala sesisih) yang disebabkan karena salah satu atau semua penyebab dibawah ini :
Tekanan pada n. oksipitalis magnus oleh karena regangan fascia cervicalis profunda segitiga posterior leher).
Tegangan pada periosteum kraniun pada perlekatan otot trapezius atau elevator skapula.
Nyeri Rujukan (referred paint) dari leher akibat lordosis berlebihan yang menyebabkan penyempitan akar saraf pada foramen intervertebralis.
2. Rasa nyeri pada sisi posterolateral dan leher.
Gejala radikuler kebawah yang ipsilateral ekstremitas atas baik vaskuler atauneurologik atau keduanya.Paresthesia dapat unilateral atau bilateral dan biasanya pada distribusi dari n. ulnaris. Akibat kiposis torakalis pada “fatique posture" dan saraf torakalis V dan VI dapat menyebabkan iritasi dan menyebabkan nyeri pada sudut inferior skapula.
Diagnosis didasarkan atas:
Observasi dari sikap : “dorsal round back khyposis dengan lordosis servikalis kompensata yang meningkat dan kepala terdorong kemuka.
Adanya bahu yang lentur riwayat dari penyabab yang menyebabkan sikap ini juga membantu untuk menentukan diagnosa.
Menimbulkan daerah pencetus nyeri (trigger point area) di otot-otot scapula yang meliputi hiperalgesia, hiperasthesi dan allodynia Untuk ini diperlukan pemeriksaan yang teliti untuk mencari titik pencetus (trigger point area) atau daerah nyeri rujukan dengan tekanan digital.
E. Iga Servikal = "Carvical Rib”
Pada umumnya hanya pada vertebra thorakalis saja yang terdapat tulang rusuk, tetapi pada 1 % populasi terutama pada wanita terbentuk rusuk tambahan pada daerah servikal yang bilateral, dan jarang rusuk tambahan ini memberikan gejala. Bila menimbulkan gejala dapat gejala timbul karena gangguan vaskuler, neurologik atau keduanya. Keluhan Neurologi dapat berupa : kelainan sensoris antara lain: nyeri, hiperasthesi, para asthesia atau hipoasthesia dan kelainan motoris berupa kelemahan otot pernapasan.

Gangguan neurologik ini akibat gangguan pada nerviservikalis VIII dan nervithoracalis I, dengan rasa sakit dan tebal pada sisi ulnair tangan dan pada jari manis dan jari kelingking: kelemahan otot-otot kecil ditangan dapat pula terjadi dan biasanya terdapat pula gangguan vaskuler.
Penanganan untuk iga servikal ini harus intensif, secara konservatif dilakukan:
Perbaikan sikap tubuh
Perbaikan tonus otot pada sendi bahu
Pemasangan brace untuk membuat elevasi bahu pun dapat dikerjakan.

Tindakan pembedahan dengan memotong iga tambahan tersebut atau otot sealenus, dilakukan bila terdapat gangguan pada arteri subclavia yang ditandai dengan kepucatan, rasa dingin, kelemahan otot. Untuk mengatasi gangguan arteri dilakukan retrograde arterografi.

F. Thoracic Outlet Compression Syndrome
1. Sindroma skalenus anterior (scalenii anticus syndrome)
Keluhan utama sindroma skalenus anterior adalah adanya rasa bebal dan bergetar pada lengan, tangan dan jari-jari dan rasa yang seperti ditusuk ini seringkali pada waktu malam hari yang sering membangunkan penderita. Kelemahan pada jari-jari didapatkan terutama bila ada rasa sakit dan dirasakan sebagai rasa sakit yang dalam dan seperti ditusuk.

Pemeriksaan fisik biasanya tidak terdapat kelainan, dan pemeriksaan tertentu misalnya dengan “adson test”, yaitu dengan memutar kepala pada sisi keluhan, dan kepala diekstensikan ke belakang, lengan diabduksikan, dan penderita disuruh bernapas dalam. Dengan tes ini timbul rasa nyeri dan denyut nadi radial akan berubah.
Mekanisine tes ini adalah sebagai berikut :

Rotasi dan posisi ekstensi leher akan menyebabkan otot Scaleneus dalam keadaan tegang, dan ini akan menyempitkan sudut diantara otot itu dengan iga pertama, dengan inspirasi dalam yang melekatkan m. scaleneus yang berfungsi sebagai otot tambahan pernapasan akan mengangkat iga dan ini akan menekan gabungan neurovaskuler yang ada. Spasme otot scalenus dapat disebabkan oleh karena sikap tubuh, stres karena pekerjaan, dan atau keadaan emosionil yang lama. Dan mungkin pula, spasme otot scalenus ini disebabkan oleh karena sekunder akibat radikulitis servikalis akibat spondylosis, penyakit diskogenik, atau fibrosis akar saraf.

Gambar: Thoracic Outlet

2. Sindroma klavikulokostal (klavikulokostal manuver)

“Neurovascular bundle” dapat terjepit diantara iga pertama dan klavikula pada tempat dimana pleksus brachialis dan pembuluh arteri, vena melintas di iga pertama. Keluhan adalah serupa dengan sindroma skalenus anterior dan tanda yang dijumpai juga minimal. Keluhan dapat ditimbulkan dengan menyuruh penderita untuk menekan bahu kebawah dan kebelakang. Dan costo clavicularis manuver test ini mula-mula dikerjakan oleh penderita kemudian, secara pasif dilakukan tekanan kebawah oleh pemeriksa.

Bising (“bruit”) akan terdengar bila pembuluh darah tertekan dan akan timbul kembali bila di1epas, dan ini merupakan cara pemeriksaan klinis, yang terbaik. Faktor penyebabnya antara lain kelelahan, trauma, dan stress, jadi dengan perbaikan sikap dan meningkatkan tonus otot dan "endurance" dapat mengurangi keluhan.

3. Sindroma Pectoralis Minor
Sindroma ini juga disebut sindroma hiperabduksi otot pec-toralis minor berasal dan rusuk III, IV dan V dengan in-sertio diprosesus Coracoideus discapula; dan pleksus brachialis bersama-sama arteri axialis dan vena melintasi rusukI dibawah riun. pectoralis.

Keluhan bebal dan bergetar dan tangan timbul bila ter~a-di kompresi gabungan saraf dan pembuluh darah diantara rn. pectoralis minor dan iga pertama, dan dapat diulangi bila lengan penderita diangkat diatas kepala diabduksikan dan ditarik kebelakang; dan mi akan menyebabkan kompresi pa-da gabungan saraf dan pembuluh darah tadi (Wright Test). Faktor Penyebabnya sama dengan sindroma scalenusanticus dan sindroma klavikulokosta, dan pengobatannya juga sama.

G. Superior Pulmonary Sulcus Tumor
Ca didaerah apex paru atau lazimnya disebut Pancoast tumor, dan memberikan tekanan pada pleksus brachialis dan menimbulkan gejala. Rasa sakit yang timbul biasanya hebat dan difus dan sekitar daerah tangan dan bahu. Disamping itu tumor juga mengadakan penekanan pada untaian ganglion simpatikus di daerah thorak dan menyebabkan terjadi sindroma hernia.

Biasanya disertai pula dengan memburuknya keadaan umum adanya kelainan dan photo thorak dan pada biopsi kelenjar dijumpai kelainan. Dengan sendirinya pengobatan adalah dengan pembedahan dan radiasi yang kemudian bila dilakukan tindakan rehabilita dengan melakukan suatu rangkaian latihan.

H. Supra Scapula Entrapment
Rasa nyeri pada bahu dapat pula disebabkan oleh karena "entrapment' pada n. suprascapularis pada jalannya melalui foramen suprascapular.

Saraf ini berasal dari C5 - C6 berjalan dibe1akang pleksus brachialis ke tepi atas skapu1a, dan berjalan rnelalui insisura supra skapula, dimana ditutup oleh ljgamenturn tranversolis scapula. kemudian masuk ke dalam fossa supraspinatus dan mensarafi sendi bahu, sendi akromio klavikula dan otot supraspinatus dan infraspinatus.

Dan saraf ini merupakan saraf motoris yang penting, rasa sakit akan dirasakan didaerah yang dilayaninya dan dirasakan sebagai rasa sakit yang sangat terasa didalam dan sulit untuk dijelaskan.
Daerah bahu bagian posterior lateral mendapatkan daerah nyerinya. Dan sering didapatkan atropi dan kelemahan otot saraf akan merentang maksimal bila lengan dalam posisi adduksi didada.

Aduksi lebih lanjut akan menekan sendi skapula thora calis dan menyebabkan tarikan pada saraf. Trauma biasanya merupakan penyebab utama terutama bila terjadi pemisahan akromio klavikuler yang dapat menyebabkan skapula bergerak ke depan dan medial. Diagnosa dibuat dengan gera kan yang dapat menyebabkan rasa sakit dengan menggerakkan scapula kemuka dari melintasi rongga dada dan rasa nyeri dada dengan blokade djdaerah supraskapula. Penanganan dengan mengobati penyebabnya, imobilisasi scapula pada posisi sedemikian sehingga tidak didapatkan regangan saraf dan blokade pada saraf secara berulang.

I. Posterior Primari Rami Lower Thoracic Nerve Entrapment
Rami dorsalis n. thoracis lower memberikan cabang ke lateral melintasi segment thoracal 7 kemudian memberikan persyarafan ke rotator cuff dan kapsul sendi bagian posterior sendi bahu. Apabila ketegangan otot rhomboid yang dapat mengganggu mobilitas vertebrae thoracal maka akan menimbulkan iritasi pada serat thoracis lower sehingga nyeri pada regio bahu bagian posterior dirasakan menyengat karena saraf ini komponen yang utama di daerah sensoris.

Gambar: Posterior Primari Rami Lower Thoracic Nerve Entrapment

J. Dorsal Scapular Nerve Etrapment
N. scapula dorsalis mensarafi rhomboideus, dan berasal dari C5 dan kemudian sesudah keluar langsung masuk di otot skaleneus medius.
Keadaan merangsang dengan setiap keadaan yang menyebabkan regangan otot, atau spasme dan otot-otot skaleneus.

Rasa sakit dirasakan tumpul dalam dan samar di daerah sisi medial skapula, karena saraf ini yang utama adalah motorik. Bila rasa sakit mengganggu dapat dilakukan pembedahan.

K. Arterio Sclerotic Occlusion
Arteno sklerosis dapat menyebabkan penyurnbatan dan akan mengurangi aliran darah dan rnenyebabkan denyut radialis berkurang. Keadaan ini menyebabkan "rasa nyeri claudication" bila penderita melakukan latihan yang berlebih dan sembuh bila istirahat. Sering terdengar bising sistolik dan diperlukan arteriogram/venogram untuk rnembedakan dengan menelusuri pada arteri innominata dan subclavia dengan/tanpa kompresi dan rusuk servikalis.

L. Bahu pada Hemiplegia
Penderita yang menga1ami gangguan pernbuluh dara otak (G.P.D.O.) kerap kali rnernpengaruhi bahunya dan menyebabkan disabilitas dan tidak jarang menyebabkan rasa nyeri. Kembalinya fungsi atau perbaikan fungsi dan bahu sangat penting untuk dapatnya melakukan aktifitas sehari-hari, kernbalinya fungsi tangan, keseimbangan tubuh, melakukan aktifitas rnemindahkan sesuatu dan ambulasi yang efektif. Tirnbulnya rasa nyeri akan mengurangi rehabilitasi penderita, dan nyeri bahu ini biasanya disebabkan oleh karena subluxatio dan sendi gleno humeral.

M. Nyeri Bahu Pasca Pembedahan
Pembedahan atas operasi sendi bahu biasanya dilakukan oleh adanya kerusakan struktur sendi yang sudah parah, sehingga tindakan konservatif tidak memungkinkan untuk dilaksanakan.

Salah satu contoh pembedahan sendi bahu adalah shoulder arthrocopy, sering dilakukan pada kondisi misalnya: kerusakan labium glenoidalis, ruptur rotator cuff, ruptur tendon biceps bracialis, dan kondisi lain yang menurut ortoped menyatakan indikasi.

Problem pasca pembedahan biasanya akan diikuti : oedema, sekitar sayatan. Nyeri dan gangguan mobilisasi. Tanda ini merupakan respon normal yang bersifat fisiologis.
Respon fisiologis penyembuhan kemudian akan segera diikuti oleh beberapa fase yaitu :
Fase pendarahan. Fase peradangan (oedema) menunjukkan adanya vasedilatasi.
Fase fibroblas (proliferasi) menunjukkan adanya pembentukan fibrinogen pada hari ke-2 dan setelah hari ke-4 sudah terbentuk jaringan endotel
Fase remodeling dengan proses fisiologis durasi 1-3 minggu pembentukan jaringan kolagen, durasi 2-3 minggu hingga 3 bulan terjadi remodeling. Durasi setelah 3 bulan pembentukan struktur secara normal.
Biasanya keluhan nyeri terjadi pada fase fibroblas dan awal remodeling. Keadaan ini aktivitas acceptor nyeri (nociceptor) berperan untuk mempertahankan keseimbangan fungsi vasodilatasi melalui keseimbangan vaso motor pada system sympathetic. Keluhan nyeri berangsur-angsur berkurang hingga pada fase remodeling akhir.

Apabila keluhan nyeri masih terjadi pada fase remodeling akhir yang sudah diikuti oleh tanda atau gejala sebagai berikut:
masih adanya oedema
hyperhidrosis atau hypohydrosis
distrophic change
vaso motor instability
bone reabsortion
decreated motor function,
Maka aktivasi nociceptor dalam keadaan dis balance. Keadaan ini disebut dengan reflex symphatetic dystrophy syndrome. Maka hal ini sangat penting untuk dipahami mengingat intervensi secara rasional oleh fisioterapi berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan fisioterapi. Dalam menangani keluhan nyeri bahu pada umumnya dan kondisi pasca operasi pada khususnya.

Sifat nyeri dan keterbatasan gerak sendi bahu dapat menunjukkan pola yang spesifik yaitu: pola kapsuler dan bukan pola kapsuler. Pola kapsuler pada sendi bahu yaitu gerak eksorotasi paling nyeri dan terbatasan kemudian diikuti abduksi dan endorotasi, atau dengan kata lain: gerak eksorotasi lebih nyeri dan terbatas dibandingkan dengan gerak endorotasi. Bukan Pola Kapsuler sendi bahu yaitu keterbatasan nyeri yang dapat terjadi pada sebagian arah gerak atau ke segala arah tanpa mengikuti pola kapsuler.

Gambar

Skema Pola Kapsuler


Skema Bukan Pola Kapsuler

Kesimpulan:
Sindroma nyeri bahu sangat komplek dan sulit untuk diidentifikasi satu persatu bagian secara detail. Guna memahami penyebab dan patologi sindroma nyeri bahu, maka dapat dikelompokkan menjadi :
- Faktor Penyebab:
faktor penyebab gerak dan fungsi, yang terkait dengan aktifitas gerak dan struktur anatomi
faktor penyebab penyebab secara neurogenik yang berkaitan dengan keluhan neurologic yang menyertai baik secara langsung maupun tidak langsung yang berupa nyeri rujukan.
Berdasarkan sifat keluhan nyeri bahu dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
Kelompok spesifik, mengikuti pola kapsuler dan
Kelompok tidak spesifik sebagai kelompok yang bukan mengikuti pola kapsuler
Intervensi fisioterapi harus memahami sifat keluhan untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Pengertian Dari Beberapa Istilah
Pola Kapsuler
Keterbatasan gerak sendi yang spesifik mengikuti struktur kapsal sendi. Shoulder (glenohumeral) mengikuti keterbatasan yang paling terbatas yaitu eksorotator, abduksi dan endorotator.
Aktualitas
Keadaan nyata untuk menentukan derajat keluhan pada saat pemeriksaan dilaksanakan. Aktualitas ini menunjukkan aktivasi dari proses patologi yang terjadi.
Aktualitas Tinggi:
- Keluhan nyeri yang tejadi pada saat istirahat dan malam hari
- Keluhan nyeri bergerak dengan peningkatan ketegangan
- Nyeri menjalar ke dorsal
- Nyeri timbul saat mulai gerak sampai akhir gerak
- Test dengan pembebanan (gerak melawan tahanan selalu timbul nyeri
Aktualitas Sedang
Keluhan nyeri antar aktualitas rendah dan tinggi
Aktualitas Rendah
- Keluhan nyeri tidak terjadi saat istirahat dan malam hari
- Keluhan nyeri tidak terjadi pada saat ketegangan bergerak
- Nyeri lebih terlokalisasi
- Nyeri timbul terutama pada akhir gerak
- Test dengan pembebanan timbul nyeri apabila berulang-ulang
Impingement
Merupakan suatu sindroma akibat penekanan atau penarikan dari struktur alat gerak yang melintasi bangunan antara caput humeri dan coraco acromialis sewaktu lengan bergerak aktif flexi elevasi. Selama itu dapat terjadi dengan entrapment pada pembuluh darah (arteri/venum), saraf misalnya pada Thoracic Outlet Compression Syndrome (TOC).
Painfull Arc
Sindroma nyeri yang timbul akibat penekanan pada tendon dan busa acromialis sewaktu gerakan shoulder mencapai lingkup gerak sendi antara 70 – 120 derajat.
Tes Fisiometric melawan tahanan pada otot atas rotator cuff: eksorotasi, abduksi, endorotasi.
PSI (Partial Shoulder Imobilitation)
Keterbatasan sebagian sendi bahu akibat mobilisasi, misalnya : flexi-elevasi, abduksi elevasi.
Tes Abduksi Glenohumeral
Posisi Pasien: duduk di kursi (stoel) kemudian lengan di abduksikan normal dengan sudut 90 derajat.

DAFTAR PUSTAKA
Bekkering G.E.. Eviidence Based Fyiotherapie hij patienten met Shouder Klachten
Wetensschpplijke onderbouwing van de KNGF-richtlijn. Nederlands Tijdschrift voor Fysiotherapie. Jaargang III. 2001.

Cailliet R.. Cervical & Neck Pain. 3nded. Philadelphia : FA Davis Co. 1981.

De wolf A.N.. Onderzoek & Behandeling van weke delen :Bohn Staflen van Loghum Housten. Holland. 1994.

ILO. Eigonomic Check point Practical and Easy to Implement Solution forr Jmping safety Health and Working Condition. Geneva. 1 996.

Kisner C.. ThrapeuticExercize Foundations and Techniques. third edition. F.A. Davis company. Philadelphia. 1990

Kuntono H.P.. ManagementNyeri Muskuloskeletal. Temu Ilmiah Tahunan Fisioterapi XV. Semarang. 2000.

La Dou J.. Occupational Medicine. Appleton & Lange. California. 1990.

Mancini RM.. Muskuloskeletal Pain in : Halstead LS. Grabois M eds. Medical Rehabilitation. New York. Raven Press. 1995.

MH Pope. Review of studies on Seated Whole Body Vibration & Neuromuscular Pan, Departement of Environmental and occupational Medicine, University of Aberdeen. Scotland. UK. 1999.

Suma’mur, Ergonomi untuk Produktivitas Kerja, . CV Haji Mas Agung. Jakarta. 1995.

NYERI PUNGGUNG BAWAH (Karena Kelemahan Otot Punggung)




Apakah Kelemahan Otot Punggung Itu?
Kelemahan otot punggung terjadi karena otot-otot pada perut dan punggung terlalu lemah sehingga tidak mampu menjalankan kewajibannya dalam menyangga tulang belakang, akibatnya terjadi nyeri pada punggung bawah. Jeleknya postur juga merupakan faktor yang menyebabkan strain pada otot punggung bawah.
Gejala yang timbul adalah :
1. Nyeri, pegal dan otot kaku pada punggung bawah terutama saat anda menghabiskan waktu spesial anda dengan berdiri lama.
2. Nyeri pada punggung bawah setelah aktivitas angkat-angkut
Apa Yang Dapat Anda Lakukan?
1. Meningkatkan latihan fleksibilitas dan mengikuti latihan penguatan punggung
2. Memperbaiki postur dan gaya hidup yang mampu menimbulkan nyeri punggung

Peran Fisioterapi 

1. Menyarankan agar mengikuti program penguatan dan program rehabilitasi/pemulihan punggung

2. Edukasi untuk teknik angkat-angkut yang benar, menjaga postur dan bagaimana meminimalisasikan penggunaan otot punggung yang berlebihan

BELL's PALSY ( Wajah Menceng)

Jumat, 08 Agustus 2014




A.    Latar Belakang Masalah
            Bell´s palsy merupakan lesi pada nervus VII (nervus Fasialis) perifer , yang mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah , bersifat akut, dimana penyebabnya tidak diketahui dengan pasti atau idiopatik (Thamrinsyam, 1991).Bell´s palsy merupakan jenis kelumpuhan saraf fasialis perifer yang paling sering terjadi, tujuh puluh lima persen dari seluruh lesi saraf fasialis termasuk didalam kelompok ini (Chusid, 1993).
Bell´s palsy biasa terjadi pada segala usia, namun lebih sering dijumpai pada kelompok umur 20 sampai dengan 50 tahun. Di Amerika serikat angka kejadian Bell´s palsy kira-kira 23 per 100.000 tiap tahun, tapi hasil penelitian pada umumnya menunjukkan angka kejadian 15-30 per 100.000 tiap tahun. Angka kejadian terendah ditemukan pada usia kurang dari 10 tahun dan angka kejadian tertinggi pada usia kurang dari 60 tahun (Talavera,2006).Di Belanda (1987) 1 penderita per 5000 orang dewasa dan 1 penderita per 20.000 anak per tahun. Bell´s palsy  pada orang dewasa lebih banyak dijumpai pada pria, sedangkan pada anak tidak terdapat perbedaan yang menyolok antara kedua jenis kelamin (Sukardi,2008).
Bell´s palsy lebih sering terjadi dibandingkan dengan kelumpuhan saraf kranialis yang lain. Kelumpuhan ini ditandai dengan mulut tertarik pada salah satu sisi. Penderita tidak dapat mengangkat alis atau mengkeritkan dahi. Pada saat menutup mata , mengangkat sudut mulut , menggembungkan pipi, bersiul dan mencucu akan terjadi deviasi kearah yang sehat.Sehingga menimbulkan kelainan bentuk wajah yang menyebabkan penderita sangat terganggu baik fungsional, kosmetik maupun psikologis (Widowati,1993). Keadaan ini tidak memiliki penyebab yang jelas,tapi dapat disebabkan oleh karena kedinginan pada muka, infeksi telinga tengah, tumor pada intracranial, fraktur pada os temporal, meningitis, dan penyakit-penyakit infeksi.
Bell´s palsy menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu impairment  seperti kelemahan otot wajah, gangguan rasa pada lidah, asimetris wajah, spasme otot wajah, gangguan rasa pada lidah, asimetris wajah, spasme otot wajah, functional limitation seperti gangguan makan , gangguan minum, gangguan menutup mata, gangguan ekspresi , dan participation of restriction seperti menarik diri dari masyarakat karena gangguan ekspresi ( Sidharta, 19    A.        Anatomi Fungsional
1.    Nervus Fascialis
Nervus fascialis merupakan saraf wajah dari arcus pharyngeus kedua dan mensarafi semua otot-otot wajah. Nervus fascialis tidak mensarafi kulit tetapi cabang-cabangnya berhubungan dengan cabang-cabang nervus trygeminus (Snell,1993).
Nervus fascialis keluar dari os petrosum kemudian keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stylomastoideus.Nervus tersebut turun dan bergabung dengan ganglion geniculatum yang merupakan serabut penghantar impuls pengecap yang dinamakan corda tympani  (Sidharta,1999).
Nervus fascialis mengontrol otot-otot pada leher, kening dan ekspresi wajah. Nervus fascialis merangsang kelenjar air mata dan kelenjar ludah didepan mulut.Sensasi rasa pada 2/3 bagian depan lidah dan sensasi pada daerah gendang telinga juga dibawa nervus fascialis (Diels, 2006).
Otot-otot bagian atas wajah disarafi dari 2 sisi. Maka terdapat perbedaan gejala kelumpuhan saraf VII tipe sentral dengan tipe perifer. Pada gangguan nervus fascialis tipe perifer semua otot sesisi wajah lumpuh. Pada gangguan tipe I ni letak lesi berada di inti atau serabut saraf sedangkan tipe sentral letak lesi pada tractus pyramidalis atau korteks motorik. Pada  gangguan tipe sentral sekitar mata  dan dahi yang mendapat persarafan dari 2 sisi tidak lumpuh tetapi yang lumpuh bagian bawah wajah. Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah disarafi dari korteks motorik kontralateral, sedangkan  wajah bagian atas disarafi dari kedua sisi  korteks motorik  atau bilateral  (Lumbantobing, 2006).
2.    Otot Wajah
Otot wajah melekat pada fascia superficialis dan hampir semua berorigo pada tulang cranium serta  berinsertio ke kulit. Lubang-lubang pada wajah, yaitu orbita (rongga mata), cavum nasi (rongga mulut) dilindungi  oleh palpebra nares dan labia oris. Otot wajah berfungsi sebagai sfingter atau  dilator struktur-struktur tersebut.Fungsi lain otot wajah adalah untuk mengubah ekspresi wajah. Otot wajah berkembang dari arcus pharyngeus kedua dan disarafi nervus fascialis (Snell, 1993).
Otot wajah seperti otot lain, memiliki sifat-sifat fisiologis sebagai berikut : (1) irritability, kemampuan menerima rangsang, (2) conductivity, kemampuan meneruskan rangsang ke seluruh sel-sel otot, (3) contractility, kemampuan untuk berkontraksi, (4) elastuicity,, kemampuan kembali setelah mengalami penguluran, dan (5) extensibility, kemampuan untuk mengulur tanpa mengalami kerusakan.
Otot-otot wajah bekerja secara fungsional dalam mengekspresikan wajah, seperti ketika wajah diam merupakan posisi rileksasi dri kedua sisi otot-otot wajah, mengangkat alis dilakukan oleh otot frontalis, menutup mata dilakukan oleh otot orbicularis oculli, tersenyum dilakukan oleh otot zygomaticum mayor, dan bersiul dilakukan oleh otot orbicularis oris (Snell,1983)
Keterangan gambar 2.1
Otot-otot wajah (Putz,2000)
1.      M. Procerus                                                 8. M. Platysma
2.      M. Corrugator Supercilli                              9. M. Risorius
3.      M. Nasalis                                                  10. M. Orbicularis Oris
4.      M. Zigomaticus Mayor                                11. M. Zigomaticus Minor
5.      M. Buccinator                                              12. M. Orbicularis Oculi
6.      M. Mentalis                                               13. M. Frontalis
7.      M. Depressor Anguli Oris
Keterangan gambar 2.2
Sistem Persyarafan Wajah (Putz, 2000)
1.      N. Fasialis                            6.  N. Petrosus  Mayor
2.      Chorda Tympani                 7. Processus Syloideus
3.      N. Auricularis                     8. N. Petrosus Profundus
4.      Ganglion Geniculi              9. N. Canalis Pterygoidei ( Radix Fasialis)
5.      N. Petrosus Minor              10. Ganglion Oticum

B.   Etiologi Bell´s Palsy
Bell´s palsy secara pasti belum dapat diketahui penyebabnya, akan tetapi ada beberapa tori yang berhubungan dengan etiologi Bell´s palsy antara lain :
1.      Teori Ischemia Vaskuler
Menurut teori ini terjadinya gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis falopi secara tidak langsung menjadikan paralisis atau parese nervus fasialis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tekanan syaraf perifer terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri syaraf tersebut, bukan akibat dari tekanan langsung pada syarafnya.
Kemungkinan terdapat respon simpatis yang berlebihan sehingga terjadi spasme  arterioral atau statis vena pada bagian bawah dari kanalis fasialis, sehingga menimbulkan oedema sekunder yang selanjutnya menambah kompresi terhadap supply darah, menambah ischemia dan memjadikan parese nervus fasialis (Rohman,1993).
2.   Teori Herediter
Willbrand (1974) dikutip oleh Sabirin  (1996) mendapatkan 6 % penderita Bell´s palsy yang kasusnya herediter. Ini mungkin karena kanalis fallopi yang sempit di sekitar foramen stylomastoideus yang herediter (pada keturunan atau keluarga tersebut), sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis (Sabirin, 1996)
3.   Teori Immunologi
Dikatakan bahwa Bell´s palsy terjadi akibat reaksi immonologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian immunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita Bell´s palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan oedema di dalam kanalis fallopi dan juga sebagai immune suppressor (Utami, 1992).
4     Pengaruh Udara Dingin
Adanya pengaruh udara dingin menyebabkan kerusakan lapisan endothelium dari pembuluh  darah leher atau telinga, sehingga mengakibatkan proses trandusi daerah tersebut. Bila trandusi meluas sampai facial canal akan menyebabkan penekanan nervus fasialis, karena penekanan tersebut tidak dapat menghantarkan rangsangan sehingga menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelayuan.
C.      Patologi
Apapun sebagai etiologi Bell´s palsy , proses akhir yang dianggap bertanggung  jawab atas gejala klinik Bell´s palsy adalah  proses oedema  yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fascialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi odema dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler  kemudian terjadi oedema pada jaringan sekitarnya  dan akan terjadi  gangguan aliran darah sehingga terjadi hopoksia dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan kallilrein sebagai hancurnya nucleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen.

A.      Tanda dan Gejala Klinis
Menurut Chusid (1983) tanda dan gejala klinis Bell´s palsy  ditentukan dari lokasi atau letak terjadinya  lesi, antara lain :
1.      Lesi di luar foramen stylomastoedeus
Pada lesi diluar foramen stylomastoedeus gejala terjadi pada sisi yang terkena  yaitu mulut turun dan mencong ke sisi  yang lain,  makanan terkumpul di antara pipi dan gusi, dan sensasi wajah menghilang. pasien tidak dapat bersiul, mengedip dan mengerutkan dahi. Tipe paralisinya lower motor neuron yang flaccid dan reaksi degenerasinya timbul dalam waktu 10-14 hari, tergantung luasnya kerusakan.
2.      Lesi pada canalis fascialis dan mengenai nervus chorda tympani
Hampir sama dengan gejala pada lesi di luar foramen stylomastoideus tetapi terjadi hilangnya sensasi pada 2/3 bagian depan lidah dan bedrkurangnya salvias di sisi yang terkena.
3.      Lesi lebih tinggi yang mengenai ganglion genitaculum
Pada letak lesi ini terdapat rasa nyeri di belakang dan di dalam telinga. Herpes pada tympanum dan concha dapat mendahului terjadinya kelumpuhan.
B.  Komplikasi
Komplikssi  yang umumnya  dijumpai pada kondisi  Bell´s palsy antara lain :
1.    Crocodil tears syndrome  (syndrome air mata buaya)
Sindrome air mata buaya merupakan keluarnya air mata pada saat pasien makan. Fenomena ini dapat terjadi sebagai akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom. Pada kondisi normal serabut otonom seharusnya menuju ke kelenjar saliva, namun karena regenerasi  yang salah serabut otonom menuju ke kelenjar lakjrimalis (Sabirin, 1996).
2.    Synkinesis
Gerakan sinkinetik aialah ikut terangkatnya  sudut mulut pada  waktu mata ditutup dan fisura palpebrale sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu  rahang bawah ditarik ke atas atau ke bawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Paralisis facialis perifer  jika sembuh, kadang sering menimbulkan gejala sisa. Pada umumnya gejala itu merupakan proses regenerasi yang salah, sehingga  timbul gerakan fasial yang berasosiasi dengan gerakan otot kelopak lain. Gerakan yang mengikuti gerakan otot kelopak lain itu dinamakan synkinesis (Sidharta,1999).
3.    Spasmus Klonik Facialis
Spasmus klonik facialis atau tic facialis adalah gangguan gerakan pada otot wajah yang sering dijumpai (gerakan involunter). Mekanisme sebenarnya  belum diketahui tetapi yang sering dianggap  sebagai penyebabnya ialah suatu rangsang iritatif di ganglion geniculatum. Tetapi gerakan wajah involunter  bisa bangkit juga sebagai pencerminan kegelisahan atau depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut mulut terangkat dan kelopak mata memejam secara berlebihan  (Sidharta,1999).
4.    Kontraktur otot wajah
Kontraktur otot wajah dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plica nasolabialis lebih jelas terlihat dibanding  pada sisi yang sehat. Hal ini yangmenyebabkan kesalahan persepsi, bagian yang sehat disangka lumpuh, sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya  \sehat (Lumbantobing, 2006).
5.    Neuralgia geniculata
Neuralgia geniculata  merupakan rasa nyeri di belakang dan di dalam telinga, serta sensasi pengecap menghilang. Neuralgia ini biasanya menyertai Bell´s palsy hanya untuk sementara, tetapi dapat terlihat dengan herpes pada tympanum dan concha dengan atau tanpa facial palsy (Chusid, 1983).
F. Prognosis Gerak dan Fungsi
Pasien Bell´s palsy pada umumnya mempunyai prognosis yang bagus, kira-kira 80 – 90 % pasien akan sembuh tanpa timbul gejala sisa dalam 6 minggu sampai 3 bulan. Pada pasien yang  berumur 60 tahun atau lebih kira – kira 40% akan mengalami penyembuhan secara lengkap dan mempunyai angka sequel atau gejala sisa yang lebih tinggi. Pasien yang berusia 30 tahun atau kurang mengalami kesembuhan 10 – 15 % dan kemungkinan untuk timbul gejala sisa lebih kecil (Talavera, 2005).
Faktor resiko yang dapat mempengaruhi prognosis Bell´s palsy antara lain adalah : (a) usia dari pasien, pada usia lanjut kemungkinan terjadi kontraktur dari otot- otot wajah yang mengalami kelumpuhan akan lebih besar dibanding  dengan penderita usia muda. Pada usia lanjut proses penyembuhan juga lebih lama disbanding pada penderita  usia muda, (b) derajat kelumpuhan, pada kelumpuhan yang komplit akan lebih lama proses penyembuhannya, (c) saat pemberian terapi  (Talavera, 2005).
      G.     Diagnosis Banding
Untuk menegakkan diagnosis Bell´s palsy kita harus mengetahui beberapa kondisi yang dapat menjadi diagnosis banding intuk kasus Bell´s palsy antara lain :
1.      Herpes Zoster Otikus (Ramsay Hunt Syndrome)
Ganglion genikuli dapat terkena infeksi herpes zoster. Nervus fasialis dan juga nervus octavus dapat terlibat dalam infeksi tersebut. Gambaran penyakit ini yaitu adanya  gelembung herpes di daun telinga. Beberapa hari setelah vesikel-vesikel tersebut timbul, tanda-tanda  paresis fasialis perifer  dan  tinnitus  serta  tuli  perseptif dapat di jumpai pada sisi ipsilateral juga (Sidharta, 1999).


2.      Facial Palsy tipe sentral
Pada kondisi ini terlihat jelas bahwa otot wajah bagian bawah tampak lebih lumpuh daripada bagian atasnya . Sudut mulut sisi yang lumpuh terlihat lebih rendah, lipatan nasolabial sisi yang lumpuh mendatar, otot wajah bagian dahi tidak menunjukkkan kelemahan yang berarti selain itu tidak dijumpainya tanda  Bell  (Sidharta, 1999)
3.      Sindroma Guillain Barre  dan Miastenia Gravis
Pada Sindroma Guillain Barre  dan Miastenia  Gravis, paresis fasialis  hampir semuanya bilateral. Pada kedua kasus ini kelumpuhan otot wajah tidak berdiri sendiri. Otot-otot  bulbar  dan juga otot-otot  ocular  sering timbul bersama-sama dengan paresis fasialis  (Sidharta, 1999).
4.      Ototis media  dan  Mastoiditis
(Diels, 2006).
Bakteri dari beberapa infeksi telinga yang akut maupun kronis dapat menimbulkan radang dan nyeri tekan di os mastoideus. Proses radangf berpindah daricavum timpani  ke  mastoid  yang mempunyai banyak pneumatisasi, sehingga pengrusakan tulang mudah dan cepat terjadi. Melalui dinding canalis fasialis  yang ikut terusak oleh proses mastoiditis, nervus fasialis mengalami gangguan dan timbul paresis fasialis (Diels, 2006)




A.    Kesimpulan
Bell´s palsy adalah ganggua nervus facialis perifer akut, dimana terjadi penekanan pada nervus  fasialis akibat proses oedema pada daerah foramen stylomastoideus yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti atau idiopatik yang dapat menimbulkan kelemahan otot-otot wajah pada sisi yang terkena (Binhasyim, 2008/).
Pada kondisi  bell´s palsy ini, muncul problematik yang harus dihadapi yaitu : gangguan ekspresi normal pada wajah, adanya kelumpuhan pada salah satu sisi wajah sebelah kiri (sinistra), adanya kelemahan otot pada salah satu sisi wajah sebelah kiri (sinistra), bila minum atau berkumur air menetes dari sudut mulut yang terkena, kerut dahi menghilang.

A.    Saran
1.    Untuk terapis
Adanya kondisi-kondisi lain sebagai pencetus bell´s palsy memamg membutuhkan penanganan yang lebih serius. Tidak semua kondisi tersebut dapat di pengaruhi dengab intervensi fidioterapi tetapi dengan adanya kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya guna menyelesaikan masalah dengan lebih tepat.
Proses identifikasi dan interpretasi masalah dilakukan dengan baik sehingga bisa diberikan intervensi yang sesuai dengan permasalahan yanga ada. Untuk itu, proses fisioterapi harus dilakukan dengan baik sehingga tujuan akhuir dari fisioterapi yang dilakukan dapat tercapai dengan teknologi efektif dan edukasi yang diberikan pada pasien. Fisioterapis sendiri hendaknya lebih mengembangkan pengetahuan dan selalu merasa tidak puas dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
2.    Untuk pembaca
a.        Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin mengenai wajah.
b.        Jika tidur menggunakan kipas angin , jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung. Arahkan kipas angin itu kearah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-langit, jangam tidur tepat dibawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian ki[as.
c.   Apabila sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan saraf.
d.  Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah/ masker dan pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan  menderita bell´s palsy.
e.   Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atasu mencuci wajah dengan air dingin.
f.    Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajat terkena angin langsung. Turupi wajah dengan kain atau penutup.
 
DAFTAR PUSTAKA
Aaron, M F,1994 : Infra red Thermal System : Retrieved Januari 5, 2011, fr:om http :
          www.Infra Red.com

Brain ,  Russel,  1989:  Disease  of  the  Nervous   System,  Oxford,   hal 176-181
Chusid,  JG,  1993:  Neuronatomi  Korelatif  dan  Neurologi  Fungsional:   cetakan
          keempat, Gajah Mada University, Yogyakarta, Hal 175-179

Clayton ,1981 : Electroterapy Theory abd Practice: eight edition , London
Diels Jacqueline, 2010: Bell´s Palsy: Retrived, Januari,27, 2010, from  http:  www.
          Bell´s palsy.ws
Lee, Jenifer,1990 : Segi Praktis Fisioterapi : edisi kedua, Binarupa Aksara, Jakarta
           hal 95-97

Lumbantobing SM, 2006 : Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental : Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Michlovitz, Susan L, 1986 : Thermal Agent In Rehabilitation : scond edition, FA Davis Co, Philadelphia, hal 99-102

Putz, R Pabst. R, 1989: Sobotta Atlas Anatomi Manusia : EGC. Jakarta
Sidharta P, 1999 : Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi : edisi keempat, Dian Rakyat, Jakarta

Sabirin J. 1990 : Bell´s Palsy Dalam Hadinoto dkk, Gangguan Gerak, Cetakan I Semarang, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Sidharta P, 1999 : Tata pemeriksaan Klinis dalam Praktek Umum : edisi ketujuh, Dian Rakyat, Jakarta

Song B-Young, 2010 : Clinic diagnostic study on prognosis of Bell´s palsy with the Digital Infra –red Thermal Image, Retrieved  Desember 28, from http ww

Thamrnsyam, 1991:  Bell´s   Palsy: Unit  Rehabilitasi  Medik   RS    Dr.  Soetomo,
           FK UNAIR Surabaya

 
Raden Mas Fauzie

Buat Lencana Anda